Ketika di Eropah Perang Tiga Puluh Tahun sedang berkecamuk, Tiongkok sedang mengalami semacam Rokoko dengan kisah cinta romantis. Sekitar tahun 1630 kurang lebih 70 tahun setelah “Jinpingmei” (金瓶梅), terbitlah dari Maestro Li Yu (李漁) sebuah novel tatakrama “Rouputuan” (肉 蒲團).
Pemeran Protagonis novel ini berjuluk Weiyang sheng “Sarjana sebelum tengah malam” (未央生). Suatu hari ia mengunjungi kuil Budha di sebuah puncak gunung, dan bertemu dengan seorang Pertapa dengan nama biara “Pertapa Puncak Sepi atau Biarawan Karung Kulit” (布袋和尚), yang ingin mengangkatnya menjadi murid. Tetapi karena ia mempunyai niat, sebelum mengikuti jalan Budha, terlebih dulu ingin menikahi gadis tercantik. Maka ia menolak “Tikar doa keras dari rumput”, dan lebih memilih “Bantal doa lembut dari daging” (肉 蒲團).
Kisah Cinderella: Menjiplak Cerita Klasik Tiongkok?
Budaya-Tionghoa.Net| Siapa yang tak kenal Cinderella? Mulai dari anak-anak, orang tua, sampai bocah tua nakal pasti tidak asing lagi dengan namanya. Tapi tahukah anda, bahwa Cinderella sebenarnya adalah cerita klasik Tiongkok yg di”kw” oleh Bangsa Eropa? (Cuma dalam kasus ini versi kw nya justru jauh lebih populer dibanding originalnya)
Cinderella made in China aslinya bernama Ye Xian 叶限(1). Kisahnya dapat dijumpai dalam kumcer Youyang Zazu 酉阳杂俎 (805) karya Duan Chengshi 段成式 (800-863), yang ditulis hampir 900 tahun lebih dulu sebelum buku Cinderella-nya Charles Perrault (1697) terbit. Pengakuan tentang hal ini juga sudah diberikan oleh ALA (American Library Association).
Ilustrasi : wajah Yang Mi (aktris Tiongkok) diphotoshop ke dalam still image dalam film Cinderella 2015 milik Disney.
Menghayati Kelenteng Sebagai Ekspresi Masyarakat ( bag.ketiga-tamat )
Gender di Kelenteng
Banyak kelenteng-kelenteng yang dipimpin oleh imam perempuan, umumnya ada di
kelenteng cai ci ( pendoa perempuan dari sub etnis Hakka ) atau juga kelenteng Buddhisme
maupun Taoisme, disebut an 庵. Didalam masyarakat paternalistic yang menjunjung kaum pria
dan menekan kaum perempuan, kelenteng Taoisme dan Buddhisme maupun kelenteng rakyat
bisa menjadi jalan kaum perempuan untuk keluar dari penindasan dan bisa mencapai kesetaraan
dengan pria, bahkan dalam beberapa posisi, kaum biarawati perempuan ini menduduki tempat
yang lebih tinggi dibandingkan kaum pria.
Karya Sastra Dinasti Ming dan Qing
dan telah menemukan popularitas yang baik di dalam dan di luar negeri.
Dinasti Ming dan Qing terkenal dengan novel klasiknya. “Kisah Tiga Negara” (Sānguó Yǎnyì), “Batas Air” (Shuǐhǔ Zhuàn), “Perjalanan ke Barat” (Xīyóujì) dan “Impian Paviliun Merah” (Hónglóumèng) serta Jinpingmei (Jīn Píng Méi) yang menceritakan tentang petualangan Hsimen dengan enam istrinya. Sekarang, kelima karya sastra terkenal ini telah difilmkanMengenal Kelenteng Thian Siang Seng Bo (Bagian 3)
Kelenteng Tjoe Wie Kiong Rembang
Rembang merupakan kota tua yang telah dikenal sejak jaman kerajaan Majapahit, seperti disebutkan dalam kitab “Nagrakartagama Pupuh XXI” Asal mula kota Rembang diperoleh dari kebiasaan orang – orang Jawa asli yang menikah dengan pendatang Campa (Tonkin, Vietnam) yang pandai membuat gula tebu. Dibulan Waisaka orang – orang memulai memangkas tebu (Jawa : ngrembang). Sebelum mulai ngrembang mereka mengadakan upacara suci “Ngrembang Sakawit” dan Samadi ditempat tersebut, tebu yang dipangkas lalu dipotong menjadi dua batang untuk “Tebu Temanten”. Demikianlah asal mula kata ngrembang menjadi nama kota Rembang (Handajani:1997). Di kota ini juga masih banyak ditemui rumah dengan arsitektur tradional tionghoa, dan kota ini juga mempunyai 2 buah kelenteng kuno yang dikenal dengan kelenteng Mak Co atau kelenteng lor dan kelenteng Kong Co atau kelenteng kidul.