Budaya-Tionghoa.Net| Kemarin dulu putriku pulang dari pekerjaannya mengatakan padaku: ”papa saya telah membicarakan dengan oncolog tadi siang, dan papa akan mendapatkan chemoterapi pada hari rabu tanggal 9 Juni jam 09.45 pagi. Dua hari sesudah kedatangan kalian dari vakansi ke pulau-pulau Kanari. Tetapi papa harus Selasa jam 09.30 pergi membicarakan dengan dia.” Sambil ketawa putriku menepok-nepok pundakku dan lalu menciumku dan melanjutkan dengan kata-kata: ”papa punya kondisi baik, semangat juga baik dan papa mempunyai keulatan. Saya tidak kewatir dan takut, semua pasti OK, seperti yang sudah-sudah.” Aku ketawa dan menerimanya dengan mangguk-mangguk. Namun yang agak menekan pikiranku ialah effek sampingan dari chemoterapi. Meskipun aku tidak banyak memikirkan tentang hidup dan mati, namun tokh ada satu perasaan yang aku sukar menulis dengan kata-kata. Seperti ada sesuatu yang tidak enak di dadaku dan pikiranku, arek Surabaya mengatakan ada “ganjelan” dalam hati. Namun keluargaku semua mendukung aku dengan penuh cinta-kasih, dan aku tidur dengan nyenyak tanpa kesulitan.
Aku bangun pada jam 07.00 pagi. Sesudah beres dengan seremoni pagi aku turun ke kamar tamu dan makan santapan pagi roti dengan keju dan ham sambil membaca koran pagi “Algemeen dagblad”.
Kemarin istriku menilpon Indonesia untuk memberi tahu pada semua keluarga kami disana. Aku lalu bicara dengan keponakanku Kuo-Xiong di Surabaya pamjang lebar. Aku dengan Kuo-Xiong mempunyai hubungan yang dekat dan baik. Dia berkata padaku: ”Dji-peh (Paman kedua) kau harus menguatkan pikiranmu disamping itu Dji-peh harus membaca karangan-karangan Dji-peh sendiri yang begitu filosofis tentang hidup dan mati untuk memperkuat pikiran paman. Juga saya usulkan agar makan makanan yang sehat-sehat, banyak buah-buahan, sayur-mayur. Jangan makan makannan yang diproses, dikalengkan. Makanlah Ling-zhi, dan Xi-yang Shen. Lihatlah foto-foto yang lama dan lagu-lagu yang paman senang. Maukah paman saya kirimi lagu-lagu medley Indonesia jamannya Dji-peh dahulu, seperti, “Suwe ora jamu”, “dondong opo salak”, Bëngawan Solo”d.l.l. “ Saya katakana: ”bahwa lagu-lagu itu aku senang menerimanya dan Ling Zhi aku pernah beli sewaktu aku ke Toronto 5 bulan yang lalu, juga sudah diseduh oleh Pehmu (tante) atas anjuran beberapa teman di Belanda dan teman-teman netters.” Aku senang membicarakan keadaanku dengan keponakan yang paling dekat dengan aku ini. Pikiranku tenang meskipun dalam pembicaraan itu diselingi dengan perasaan-perasaan yang emosionil.
Ini hari tanggal 29 Mai adalah hari yang repot bagiku, sehingga aku tidak mempunyai waktu untuk bersepedahan. Pertama–tama aku diajak oleh temanku Liao untuk Yam-cha (makanan kecil) di Rotterdam, lalu jam 16.00 sore anak-anakku berkumpul menemui kami sebelum kami besok jam 11.30 berangkat ke Schiphol, lapangan Udara Belanda. Aku berangkat dengan istriku dan kedua cucuku Li-Shen dan Li-Ling, mobil distir oleh istriku. Di mobil dalam perjalanan kami ke Rotterdam, aku berpikir apa yang aku bicarakan dengan keponakanku mengenai pikiran manusia. Untuk isengnya aku bicara dengan istriku: ”Ada seorang jutawan yang mempunyai kekayaan kira-kira 500 juta dollar US, seperti orang-orang kaya dia berdagang saham. Kemudian karena krisis ekonomi beberapa tahun ini maka dia rugi 20% dari kekayaannya. Dia depresif dan mengatakan bahwa dia sekarang bangkrut, padahal kekayaannya masih ada 400 juta dollar US. Dia tidak mau keluar rumah takut kalau ketemu orang dihina karena bangkrut. Kalau bicara selalu melihat ke bawah, diajak istrinya berjalan-jalan atau makan malam di restoran di tolaknya. Malam tidak bisa tidur yang dipikir hanya kekayaannya.
Ada pula seorang yang ketemu di jalanan saham dari perusahan yang sudah bangkrut dengan harga beli 100 juta dollar US. Karena saham itu sudah tidak ada harganya maka dibuang oleh yang punya. Dengan mendapatkan saham yang harganya mahal ini dia sombong berlagak seperti orang kaya. Kalau ketemu orang dia minta dihormati dan kalau jalan bersiul-siul karena gembira. Dan membesar-besarkan kekayaannya, meskipun sahamnya sudah tidak ada harganya lagi.”
Kesimpulan dari kedua cerita ini ialah menunjukkan bahwa sedih dan gembira itu terletak di pikiran manusia, tergantung dari pendidikan dan memelihara jiwanya menurut ajaran pemikir-pemikir yang besar. Dalam hal aku adalah Taoisme dan Konfucianisme. Istriku berkata: ”nah itulah benar, praktekkanlah sekarang. Cerita itu sangat relevan dengan situasi yang kita sekarang ini sedang hadapi.” Omongannya dilanjutkan dengan: ”Lihatlah Rotterdam pada hawa udara yang cerah seperti sekarang ini, jalanan Rijn Boulevard ini begitu bagus, pemandangan yang bagus dengan kombinasi antara alam dengan bangunan modern, pohon-pohon, rumput-rumput hijau, gereja, bangunan-bangunan apartemen dan kantor dagang yang tinggi-tinggi. Pula jembatan-jembatan yang artistik, dan sungai Rijn yang mengalir dengan kapal-kapalnya dan pemuda-pemudi mengendarakan scooter-air.” Dengan senyum dan terharu dalam hatinya dia memegang tanganku., dan berkata padaku:
“ Penghidupan memang tidak tanpa kekhawatiran
Penghidupan memang tanpa rasa nyeri-sakit
Tetapi ingatlah betul pada hari besok,
Mungkin hari itu akan sangat indah. “
Aku mengeluarkan air mataku, melihat istriku dan cucuku, karena aku tahu pada satu hari aku akan meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.
Dr. Han Hwie-Song
Breda 29-5-2004
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.