Budaya-Tionghoa.Net | Cukup banyak anak-anak di sekitar perkampungan kami. Umur mereka sekitar usia SD – antara 6 sampai 9 tahun. Anak-anak ini saling berteman, tetapi juga saling berkelompok. Cucu saya, Berry, berkelompak dengan anak-anak Belanda-totok. Namanya Yasper, adiknya Timmy laki-laki, lalu adiknya perempuan Fleure. Berry termasuk kelompok ini.
|
Tetapi yang namanya Yasperini pada umumnya tidak disukai orang-banyak sekitar kampung kami. Sebabnya menurut mereka, Yasper ini agak rasis, dan suka perintah-perintah anak-anak kecil lainnya. Termasuk kepada Berry-pun dia suka perintah-perintah dan menyuruh-nyuruh Berry. Tentu saja sebenarnya Ibunya Berry tidak suka anaknya berteman dengan Yasper. Tetapi antara tidak suka dengan keramah-tamahan rupanya berbeda. Sebab yang saya lihat dan yang saya tahu, tiga bersaudara Yasper – Timmy dan Fleur itu sering juga makan di rumah kami,- karena memang diajak oleh Berry. Mungkin karena Berry pernah juga makan di rumah Yasper bersaudara.
Berry berteman dengan Sakiel. Sakiel ini anak orang-hitam. Wajahnya memang hitam dan gelap. Katanya dia ini keturunan Suriname. Sebenarnya Berry juga suka akan Sakil. Tetapi katanya, Yasper mengancam, apabila Berry sering-sering main dengan Sakil, – alamat Berry tidak akan diajak main oleh kelompok Yasper bersaudara. Nah, dari sini, para tetangga melihat, bahwa
dasar Yasper mengandung rasialisme, karena katanya, kenapa mesti bergaul dengan anak-hitam itu. Nah, akibatnya ada perebutan, titikpusatnya ada pada Berry. Karena Berry kulitnya tidak hitam seperti 0rang-hitam dari benua Afrika, tetapi berkulit agak kecoklatan – sawo-matang. Nah, orang yang berkulit-sawo-matang, bisa bergaul dengan yang bule – dan juga dengan yang hitam.
Dua golongan ini, selalu bisa mengajak Berry, karena Berry bukan bule – bukan Belanda dan bukan orang-hitam. Ada lagi kelompok anak-anak dekat ujung kompleks perumahan kami. Nah, agak lain ceritanya, ke sini tidak, ke sana tidak. Mereka tersendiri dan seperti sifat-sifat orang Jepang – bikin masyarakat tersendiri – sangat eksklusif. Mereka ini adalah anak-anak orang Filipina. Walaupun mereka sama dengan Berry kulitnya, tidak bule tidak hitam, tetapi tetap saja mereka hanya mau
bergaul antara mereka saja. Nah, golongan ini lebih banyak di luar penceritaan saya.
Betapa orang-orang sekitar kampung kami bergembiranya karena keluarga Yasper bersaudara akan segera pindah ke daerah lain, Almere Buiten. Diam-diam sebenarnya Ibunya Berry juga gembira dengan kepindahan keluarga Yasper ini, “si anak rasialis – si rasis kecil akan pindah”. Tetapi bagi Berry dan juga Yasper, ada terasa sedih dan sepi, sebab kelompok teman-temannya akan pada berpisah.
Sekarang tinggal kelompok campuran. Tetapi memang pada kenyataannya, suasana anak-anak terasa lebih akrab dan saling dekat. Ini semua, sang rajaperang kecilnya – yang suka benci sana benci sini – musuhi sana musuhi sini, Yasper, sudah pindah. Tetapi karena ada kelompok yang buyar, maka antara anak-anak itu akan sangat nyata terlihat kalaupun ada apa-apa atau ada kekurangan yang agak menonjol. Nah, mata kami – pikiran kami banyak tertumpah pada Sakiel – orang Surinam ini.
Sakil adalah anak tunggal. Ibu – bapaknya sama-sama kerja di kantoran. Dulu ketika Sakil masih berumur lima enam tahun, orangtuanya punya pembantu yang menolong antar-jemput Sakil ke sekolahnya. Lalu ketika Sakil berumur tujuh tahun, pembantu itu diberhentikan. Nah, Sakil pergi dan pulang sekolah selalu sendirian. Terkadang bersama kami. Bersama Ibunya Berry. Terkadang bersama saya ketika saya mengantar dan menjemput Berry. Giliran saya biasanya pada hari Senen. Perkara antar jemput ini tidak sederhana. Antar jam 08.00, jemput jam 12.00. Lalu lalu antar lagi jam 13.30 dan jemput pulang sekolahnya jam 15.30. Empat kali jalan-kaki begini berjarak 6 km, lumayan juga!
Dan Sakil karena semua serba sendiri, anak ini lebih punya daya-tahan, punya rasa mandiri dan lebih berani daripada anak-anak lain. Tetapi ada segi negatifnya. Kami semua melihat hal ini. Dan kami merasakan ada hal-hal sangat mengherankan. Kenapa Sakil sangat sedikit mendapat perhatian dari orangtuanya, kenapa anak ini sangat banyak dibiarkan sendirian. Setelah rajaperang kecil – si rasis itu tidak ada, memang terlihat ada rasa bebas pada anak-anak lain. Pada Sakil-pun sangat terlihat, sebab yang palingbanyak “penderitaan” akibat si rasis dulu itu memang hanya Sakil. Dan Sakil bebas ke rumah kami dan di rumah kami. Kalau dulu dia banyak gelandangan di jalanan – di mana saja, kini dia lebih banyak dengan Berry di rumah kami.
Ketika semestinya sudah waktunya pulang, Sakil tetap saja “bertahan” di rumah kami. Dan masaksih harus kami suruh pulang karena kami mau makan dan sudah waktunya jam-makan? Lagi pula ketika itu kedua orang-tua Sakil belum ada yang sudah di rumah. Semuanya belum pulang. Dan Sakil tidak punya kunci rumahnya sendiri. Tidak bisa lain, Sakil di rumah kami dan makan di rumah kami. Orangtuanya tidak berpesan apapun kepada kami.
Dan sudah beberapa kali bahkan termasuk sering, orangtuanya selalu datang ke rumah kami buat menjemput Sakil. Atau menanyakan apakah ada Sakil bermain dengan Berry. Rupanya orangtuanya sangat sedikit perhatiannya kepada anak-tunggalnya ini. Kunci rumahpun tidak ditinggalkannya kepada Sakil. Apakah lalu kami merasa terbebani karena ada “tugas tambahan” begini? Tidak juga dan bukan itu yang pokok! Yang pokok yalah, kenapa Sakil anak sebiji mata-wayang itu dibiarkan tidak terpelihara? Kenapa dibiarkan? Kenapa tidak memberikan rasa-kasih-sayang kepada anak yang pada dasarnya baik – bahan-bahannya baik, tetapi tidak baik perawatan dan pengasuhannya,-
——————————————————————
Holland,- 24 mei 04,-
Budaya-Tionghoa.Net |
[Seri Tulisan Untuk Mengenang Sobron Aidit Dapat Anda Telusuri di Section Writing dan Kategori Sobron Aidit]