Mulai berburu
Fase kedua adalah untuk memiliki buku-buku itu. Dari seorang saudara saya, Iwan Fridolin, saya mendapat buku pertama karangan Kwee Tek Hoay berjudul Drama dari Krakatau. Dia juga memberi tahu bahwa dahulu ia membelinya di Terminal Lapangan Banteng, yang kemudian dipindahkan ke Pasar Inpres di Kompleks Pasarsenen, Jakarta. Ketika saya mencari di sana, saya diberi tahu oleh para pedagang buku bahwa ada sebuah kios yang khusus menjual buku-buku itu.
Pedagang itu, Abun namanya, sebenarnya menjual cerita-cerita silat, tetapi dia juga sering bisa mendapat apa yang dia sebut “roman-roman peranakan”. Pedagang buku lain di Muara Karang, Djaja Laras, menceritakan bahwa dia telah menjual banyak kepada Universiti Kebangsaan di Malaysia dan Kyoto University di Jepang. Ketika saya mendapat kesempatan pada 1985 untuk mengujungi Universiti Kebangsaan, saya menyesal sekali tidak mulai dengan mengoleksi buku-buku lebih dulu karena mereka memiliki banyak sekali buku bekas dari Indonesia, seperti mengenai kesenian dan sejarah Indonesia.
Seperti lazimnya seorang kolektor, memburu buku-buku Melayu Tionghoa akhirnya menjadi obsesi saya. Hampir setiap minggu saya mengunjungi kios Abun di Pasarsenen, dan merasa sangat bahagia kalau dapat membawa pulang setumpukan buku atau majalah.
Pedagang di Muara Karang sempat bentrok dengan saya karena dia telah menjual buku-buku ini kepada Library of Congress (LOC) atas permintaan University of Wisconsin di AS. Untung kepala perwakilan perpustakaan ini, Gene Smith, teman baik saya dan dia memutuskan untuk selanjutnya menawarkan buku-buku ini kepada saya dahulu, sisanya baru boleh ditawarkan kepada LOC.
Namun, saya memang sering tidak berdaya karena harga sebuah buku sudah melonjak sampai Rp 8.000 – Rp 10.000,-. Sedangkan harga pertama yang saya bayar Rp 100,- per eksemplar. Tapi dengan para pedagang itu saya sampai saat ini menjalin hubungan baik.
Setiap kali saya mendapat petunjuk mengenai koleksi buku Melayu Tionghoa, saya pergi melihat. Di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, ada seorang yang agak nyentrik, Pak Jenggot namanya. Dia hanya mempunyai buku-buku silat, tetapi rumahnya kecil dan bukunya banyak sehingga ia harus memindahkan buku-buku itu lebih dulu agar tetamunya bisa duduk. Begitu juga kalau ia mau makan. Buku-buku dari meja makan harus dipindahkan dahulu ke lantai dan dikembalikan lagi seusai makan.