THB, Bung Karno, dan Pil Kita
Saya juga pernah ke Slawi untuk mencari jejak Tan Hong Boen (THB), seorang penulis yang juga memakai nama samaran Im Yang Tjoe. THB memang luar biasa karena dia sebenarnya seorang wartawan yang sering mengkritik Belanda. Dia beberapa kali dipenjarakan, dan suatu kali pernah berada di penjara bersama Bung karno.
Dari pertemuan dengan Bung Karno, timbul gagasan untuk menulis biografinya. Di samping biografi Bung Karno itu THB menulis sejumlah novel yang menarik. Tapi, ia menjadi sangat terkenal karena ia pernah menyusun buku “apa dan siapa” berjudul Orang-orang Tionghoa Terkemuka di Pulau Jawa.
THB sudah meninggal ketika saya mengunjungi rumahnya di Slawi. Tapi, keponakannya berada di sana untuk mengurus Yayasan Ki Hajar Sukuwiyono yang didirikan untuk memberikan beasiswa kepada siswa-siswa sekolah dasar dan menengah yang tidak mampu di sekitar Slawi. Setiap tahun yayasan itu memberikan 45 beasiswa untuk murid SD, 17 untuk SLTP, dan delapan untuk SMU.
THB menjadi sangat kaya karena dalam perjalanannya keliling Pulau Jawa, yang selalu dia tempuh dengan sepeda dan mengenakan baju putih-putih, ia menemukan resep “obat” yang dia beri nama “Pil Kita”, semacam vitamin yang berguna terutama bagi sopir-sopir yang harus menempuh perjalanan panjang.
Setelah membaca beberapa cerita silat, saya pun tertarik untuk menulis tentang Khoo Ping Ho (KPH), penulis kondang dari Solo. Saya bertemu dengan (almarhum) KPH setelah menanyakan alamat rumahnya kepada tukang becak. Ternyata semua orang di sekitar alamatnya kenal dengan penulis cerita silat ini. KPH sangat terbuka dan menceritakan seluruh riwayatnya kepada saya.
Saya juga mendapat kesempatan melihat percetakannya. Ada dua macam percetakan dipakainya. Yang satu sangat modern dengan alat-alat IBM untuk mencetak buku-buku. Yang lain percetakan lamanya, karena KPH tidak tega memberhentikan karyawan yang telah setia mengikutinya selama 30 tahun atau lebih. Mereka ditugaskan untuk pencetakan yang kecil-kecil seperti label untuk jamu, karcis parkir, dsb.
Buah karya KPH sungguh banyak dan memenuhi beberapa lemari. Ketika itu KPH juga masih aktif menulis cerita, antara lain untuk beberapa surat kabar daerah. Perkenalan dengan Bu Khoo juga sangat mengasyikkan. Wanita setengah baya ini ternyata hobinya mendaki gunung; hampir semua gunung di Jawa dan Sumatra telah didakinya.
Tulisan saya disajikan di sebuah simposium di San Franscisco dan diterima dengan baik, karena orang asing sangat tertarik pada cerita-cerita silat. Makalah itu kemudian diminta oleh Denys Lombard yang ingin memuatnya di Majalah Archipel. Sayangnya, ketika Archipel itu naik cetak, KPH meninggal. Untung saya masih diberi kesempatan menulis sedikit untuk mengenangnya di bawah artikel itu.