Budaya-Tionghoa.Net | Sebagai sebuah simbol , lingkaran mengekspresikan totalitas dari eksistensi kita . Baik dalam upacara pemujaan matahari maupun kisah mitologis ataupun konjungsi seni dan religi , sebuah arketip yang final seperti yang dikatakan Carl Jung . Abad demi abad lingkaran ini mengitari berbagi kultur seperti matahari yang seolah mengelilingi bumi dan diperebutkan dalam klaim-klaim sepihak yang digambarkan secara satir oleh sastrawan ternama Rusia , Leo Tolstoy.[1] Ataupun seperti bulan yang juga menjadi simbol dalam budaya manapun dan kemampuannya memberikan sinar (sebenarnya pantulan matahari) yang lembut tanpa menghanguskan
|
Matahari dan Bulan sudah menjadi keseharian dari masyarakat purba sampai modern. Dinamika kehidupan selaras dengan roda yang bergulir merupakan imaji sempurna dari Tao dan Buddhisme. Dalam Zen metafora ini melangkah lebih jauh dalam wujud Enso. Enso merupakan subjek yang kerap dalam kaligrafi Zen.
Dia merupakan simbol pencerahan , kekuatan dan semesta itu sendiri . Dia juga merupakan dualisme dari kehampaan dan kepenuhan , absensi dan kehadiran , kekosongan bentuk dan bentuk kekosongan , terlihat dan tak terlihat , kepenuhan absolute dalam kehampaan dan ketaksempurnaan dengan sempurna , keindahan dari ketidaksempurnaan. Dan akhirnya seorang Master Zen bernama Dogen berkata bahwa berbicara dan diam – memang sama : sangat halus dan dalam.
Karakter setiap seniman tampak dari caranya melukiskan sebuah enso . Hanya seorang yang punya keseimbangan mental dan spiritual yang dapat melukis dengan baik. Karenanya enso juga menjadi bagian dari keseharian yang dipraktekkan terus menerus . Enso memang terlihat sederhana tetapi esensinya sulit untuk didefinisikan. Dia adalah sebuah lingkaran yang dilukis dalam satu tarikan nafas dan satu gerakan diatas media kertas ataupun sutera. Dia juga merupakan representasi dari kehampaan dan kesinambungan. Dari bentuk yang terlihat sederhana bermunculan berbagai variasi dari yang simetris sampai irregular dan dari goresan yang tipis maupun tebal . Lingkaran visual ini juga ditemani juga dengan sebuah prosa tekstual yang singkat dan disebut san.
Contoh Enso : Courtesy http://ataraxiathetranquilmind.wordpress.com/
Boddhidharma sang pendiri Zen mendefinisikan tradisi enso sebagai sebuah transmisi khusus diluar tulisan dengan tidak bergantung pada kata dan huruf dan sebuah petunjuk khusus terhadap pikiran manusia serta sebuah realisasi akan pencerahan. Bermula ketika Buddhism masuk ke Tiongkok dan menghadapi filsafat Taoisme yang mengapresiasi alam dan seni secara mendalam , maka aksen Taoisme akan kesederhanaan bertemu dengan metafisika Buddhisme . Dalam perkembangannya Buddhisme Tiongkok atau Chan (Zen) juga dipengaruhi oleh kesenian tinggi di Tiongkok seperti puisi , lukisan dan kaligrafi.
Di masa Dinasti Song , kesenian Chan (Zen) mencapai puncaknya dan menarik minat kaum secular untuk menelusuri hubungan antara kedalaman spiritual dengan kreativitas. Buddhisme Tiongkok kemudian mencapai Jepang dan dengan cepat berkembang menjadi budaya Zen. Dimasa Kamakura , seni Zen bercabang kedalam chado (seni minum the) , seruling bambu , seni dekorasi taman , drama Noh, seni keramik hingga puisi dan lukisan (shodo) .
Kesenian Zen dapat dibedakan dengan kesenian Buddhist secara umum . Kesenian Zen adalah sebuah seni yang sakral dan membantu pelakunya untuk memahami dirinya dan alam semesta serta membuat terlihat dari yang tak terlihat. DT Suzuki berkomentar mengenai bentuk unik ini bahwa Zen tidak diperuntukkan untuk tujuan utiliter ataupun estetika yang murni , tetapi melainkan latihan pikiran agar dapat bersentuhan dengan realitas final.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa
Further Reading
Audrey Yoshiko Seo , (2007) , “Enso : Zen Circles of Enlightenment” , Shambhala
Richard Burnett Carter , (2010) “The Languange of Zen : Heart Speaking to Heart” , Sterling Publishing