BAGIAN 5
Pada tanggal antara enam Januari sebetulnya kami akan ke Solo, namun karena kematian Iliong Ang King-Hien, kami tunda keberangkatan kami dan menunggu sampai beliau dikubur. Iliong adalah orang yang berbaik budi dan sewaktu aku bekerja sebagai secretaris Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi di Universitas Res Publica aku tinggal dirumah beliau. Aku kenal beliau sejak aku berpacaran dengan istriku, maka hubungan aku dengan beliau sudah limapuluh tahun lamanya. Kalau malam hari aku dengan beberapa keluarga kami maisong (datang menghormat) pada arwah beliau.
Hari hari selanjutna kalau siang hari berjalan-jalan ke Kelapa Gading Mall atau berkongkow dengan keluarga yang tinggal di Jakarta. Pada pagi hari sesuadah aku pulang kerumahnya Iwan dimana aku tinggal, ada tilpon untuk saya. Saya trima tilpon itu dan dengan sangat gembira aku mendengar suara dari sorang teman yang tinggal dijauh-Hongkong saudara Yang Ping yang aku sudah lama sejak di Xanyuenli, Guangzhou di tempat penampungan Hua Kiauw yang pulang ke PR-China.” Apa yang lebih mengembirakan dari pada bertemu dengan teman yang baik dari benua yang jauh?” Tanya guru besar Kong Fu-Zi. Maka kami merencanakan makan bersama di restoran Hongkong Village kami bertemu dengan Saudara Yang Ping, istri beliau dan sdr. Lu Ik Kun secretaris umum INTI. Kami, istri saya dan adik lelaki istriku Chen-Ren ikut meramaikan pertemuan itu. Dengan gembira kami berkongkow dan berceritera pengalaman masing-masing, cerita yang sangat intersan karena kami mempunyai pikiran yang cocok tentang kehidupan masyarakat.dan dengan gembira sekali aku menerima sebuah buku peringatan 100 tahun THHK, kota Pasuruan. Sayang sekali waktu yang gembira itu lalu dengan cepat, “ Time flies” kata orang Inggris.
Aku sangat gembira bahwa masyarakat Tionghoa masih ingat dan memperingati suatu organisasi yang besar jasanya terhadap masyarakat Tionghoa dalam bidang nasionalisme dan kebudayaan di Indonesia. Kalau kita baca buku-buku sebelum Perang Dunia Kedua kita dapat simpulkan bahwa THHK adalah organisasi yang pertama di benua Indonesia yang menganjurkan “ Nation dan Character building”, namun dapat dimengerti karena situasi jaman kolonial, maka terminologi nation masih belum jelas. THHK didirikan oleh pemuka-pemuka Tionghoa pada tahun 1900, dan ketuanya ialah Phoa Keng Hek. Phoa diangkat oleh Gubernur Jendral Belanda untuk menjadi Kapitan Tionghoa, tetapi beliau menolak fungsi yang tinggi itu, karena sebagai kapitan beliau tidak dapat dengan bebas mengabdi pada masyarakat Tionghoa. Nasionalisme Phoa yang terpengaruh oleh perkebangan nasionalisme di Tiongkok diantaranya, Kang Yu-We, Liang Ci-Chao dan Dr. Sun Yat-Sen (yang juga disebut oleh Bung Karno mempunyai pengaruh terhadap pandangan politik beliau) sedikit banyak berpengaruh perkembangan nasionalisme di Indonesia!
Dari pembicaraan Kami dengan sdr. Yang Ping kemarin, dirumah sewaktu bertemu dengan beberapa anggota keluarga aku mengatakan bahwa sebetulnya sekarang sudah saatnya bagi masyarakat Indonesia untuk berinteraksi dan berkomunikasi social-kulturil dengan saling percaya, keterbukaan dan respek antar berbagai etnis. Mudah-mudahan dengan permulaan tahun baru 2005, dan tahun baru imlek 2556, dua tahun baru Barat dan Asia berbagai stereotip antar berbagai ras dapat di perkecil sehinga dapat bekerja sama demi kehidupan berbangsa dan kesejahteraan Negara Indonesia dapat dipekerkuat dan membawa harapan agar kerukunan antaretnis semakin kuat merekat. Aku masih ingat waktu masa kecilku setiap Tahun Baru Imlek kami memakai baju baru, rumah dibersihkan Hakekat Imlek.atanya, adalah untuk melakukan perenungan. Tujuannya ialah dapat memperbaharui diri, maka kalau kita trapkan pada jaman sekarang kita harus berani menerima segala yang baik, membuang yang jelek dan siap sedia untuk mebuka diri dan memperbaharui, mengreformasi sesuai dengan jaman, agar tetap baru selama-lamanya.
Indonesia yang kaya dengan Kawasan Pecinan di setiap kota dapat diperkembangkan dan tidak kalah dengan Chinatowns di Amerika Utara dan Eropa Barat, karena kawasan Pecinan mempunyai sejarah berabad-abad di Indonesia dan kedua bangsa ini bekerja sama melawan penindasan kolonial. Pula Pecinan Indonesia kaya kebudayaan yang multicultural seperti Kelenteng Sam Po-Kong, Gunung Kawi, Prajekan, rumah-rumah sembahyangan di Glodok, petak sembilan dan sebagainya. Semangat multikultural baik yang diluar (architektur Tionghoa etc.) maupun yang didalam (jiwa) yang pada waktu sekarang masih dapat dinikmati orang merupahkan nilai positif yang dapat di perkembangkan dan di tumjukkan pada dunia luar untuk menarik turis dalam dan luar negeri. Perkembangan multi-budaya di kawasan Pecinan bukan merupahkan ekslusifisme, seperti pada jaman VOC, karena pada masa itu di Petjinan terutama ditinggali oleh orang-orang Tionghoa. Aku melihat di Semarang yang hidup dan bekerja di Kawasan Pecinan, terkenal dengan nama Gang Lombok, Gang Pasar etc. berasal dari pelbagai latar belakang etnis, dan mereka bekerja dengan harmonis tanpa kelihatan perbedahan. Di restoran restoran Tionghoa yang besar baik di Jakarta, Semarang dan Surabaya kok-koknya (para tukang masak) banyak terdiri dari orang pribumi, bahkan ada restoran Tionghoa di kota Solo yang boss-nya orang Pribumi. Sayang berhubung waktu aku tidak dapat ikut merasakan suasana perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia!
Pertemuan aku dengan teman-teman yang sebaya umurku dan terutama mereka yang dahulu sekolah di sekolah Tionghoa masih aku dengar sisah-sisah dari bahasa Melajoe-Tionghoa, disana sini diselipi dengan dialek-dialek Hokkian. Bahasa yang aku berkomunikasi dengan teman-temanku Tempo Doeloe. Aku tahu bahwa Bahasa Indonesia sekarang ini sudah berkembang dewasa namun aku masih nostalgi bahasa yang dipakai dulu di kawasan Pecinan, masa remajaku. Bahasa Indonesia yang dipakai oleh pemuda-pemudi Tionghoa sekarang ini “zuiver”, murni, namun kurasahkan kok kekurangan campuran “ Special Chinese dialectic flavour”
Jakarta 8 januari 2005