BAGIAN 10
Di Solo kami diajak oleh sdr. Chou Hong Yen, seorang sarjana hukum dan aktivis masyarakat Tionghoa, untuk mengikuti ceramah mengenai penghapusan Surat Bukti Kewarga Negaraan RI (SBKRI) di kota Solo. Ceramah ini diadakan oleh perkumpulan Gereja Kristen Indonesia pada malam hari jam 19.00. Waktu kami sampai disana sudah ada kira-kira 30 orang diantaranya ada dua pendeta yang satu pernah mendapatkan pendidikan theologi di Belanda dan yang lainnya di Jerman. Suasana tenang dan disediakan kuwe basah dan minuman air aqua. Para pengunjung kebanyakan orang Tionghoa, tetapi terus terang saja saya tidak dapat membedahkan mana yang Tionghoa dan mana yang Pribumi, kulit mereka hampir sama.
Apalagi keturunan Priyayi kulitnya kuning langsep seperti orang Tionghoa. Dalam hatiku aku pikir bahwa orang-orang Tionghoa ini sebetulnya adalah bagian integral dari bangsa Indonesia; kena apa kok masih dibedah-bedahkan, sampai-sampai memerlukan ceramah seperti ini.
Pembicara adalah seorang sarjana hukum dari keturunan Tionghoa. Beliau berkata bahwa sudah ada kemajuan dalam persoalan untuk minta ijin sesuatu. Tetapi hanya dalam bidang imigrasi masih diperlukan surat SBKRI, terutama bagi mereka yang mau minta paspor. Dalam tanya jawab sesudah ceramah ternyata masih banyak persoalan yang ditemui oleh etnis Tionghoa meskipun katanya persoalan Surat Bukti Kewarga Negaraan RI (SBKRI) tidak diperlukan lagi di kota Solo. Contohnya, untuk pengurusan-pengurusan seperti akte-akte yang diperlakukan berbeda dengan warga lainnya, dan terutama seorang WNI keturunan Tionghoa mau minta paspor, tetap harus mempunyai SBKRI ini. Bahkan ada seorang Tionghoa yang sudah pernah mempunyai paspor kira-kira lima belas tahun yang lalu, waktu dia mau minta paspor lagi, diminta paspor yang lama. Karena paspor yang lama sudah hilang, maka tetap harus membuktikannya dengan SBKRI. Pembicara sangat terang menjelaskan apa yang dikatakan, kadang-kadang diselingi dengan humor.
Orang Tionghoa sekarang ini sudah mulai ada yang menjadi perwakilan rakyat, umpama di Yogya, aku pernah bertemu dengan beliau seorang dari keturunan Hakka, beragama islam. Beliau mewakili dari partij PAN, dan aku kira pasti ada lagi yang mempunyai kedudukan sedemikian ini. Diharepkan mereka ini mempunyai visi dan misi mewakili etnis Tionghoa untuk memperjuangkan hak dan kewajiban yang sama bagi semua warga masyarakat Indonesia. Sebagai wakil rakyat mereka tentu lebih bebas dan punya kesempatan untuk memperjuangkan emansipasi dari semua suku, bebas dari diskriminasi dan pula meningkatkan kesadaran dan kemauan berintegrasi masyarakat Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Dan diharepkan menjadi satu contoh agar warga Tionghoa turut serta dengan keaktifan dalam segala bidang di masyarakat Indonesia untuk pembangunan di negera dimana mereka dilahirkan. Untuk proses integrasi diperlukan etnis Tionghoa harus lebih bermasyarakat dan mengintegrasikan diri di masyarakat di tempat-tempat dimana mereka tinggal bahkan juga di kampung-kampung dan tidak ragu dan sungkan untuk peduli dengan berbagai aktivitas di masyarakat lingkungannya.
Harus diakui bahwa penghidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia sekarang ini lebih baik dan bebas untuk mengembangkan berbagai kegiatan baik dalam persoalan politik, kebudayaan, pendidikan dan saya rasa kesempatan untuk memberikan kontribusi orang Tionghoa pada negara Indonesia pelahan-lahan tidak hanya terletak pada bidang ekonomi tetapi juga dalam segala bidang penghidupan masyarakat, seperti yang kami lihat sebelum masa Orde Baru. Sebagai orang Tionghoa yang pernah tinggal di Indonesia dan tetap mempunyai perasaan yang tebal pada negara dimana saya dilahirkan, aku harepkan kelak akan tidak aneh lagi bila menteri, pimpinan daerah, pimpinan ketentaraan, pimpinan universitas dan seterusnya, adalah orang dari suku Tionghoa, berdasarkan keahliannya, intelektualitasnya, tidak dilihat asal etnis orangnya, seperti yang aku lihat di Thailand, Filipina dan Malysia.
Universitas universitas swasta, institusi pendidikan bahasa Tionghoa, ormas-ormas Tionghoa dari asal daerah nenek moyang mereka di Tiongkok, mulai bertumbuhan, terutama ormas-ormas alumni sekolah Tionghoa dahulu sebelum ditutup mempunyai anggota-anggota yang banyak sekali dan mempunyai finansiil yang kuat. Kehidupan multikulturil di Indodonesia berkembang dengan pesatnya. Sangat mengembirakan sekarang bahwa ada perkumpulan yang besar dari ormas Tionghoa yang tidak membedahkan lagi antara Baba dan Totok. Perkumpulan ini terdapat hampir diseluruh kota besar dan pertengahan di kepulauan Indonesia, diantaranya yang besar ialah INTI. Temanku sdr. Chou adalah sekretaris dari perkumpulan ini. Ketuanya adalah bapak Handojo, seorang dokter lulusan Airlangga, beliau sangat ternama di Solo, berhubung kepeduliannya tidak saja dalam masyarakat Tionghoa di kota Solo, juga dalam bidang pendidikan, pedesaan, kesehatan (rumah Sakit Dokter Oen) etc. etc.
Bedahnya masyarakat Tionghoa sekarang dengan yang dahulu ialah bahwa mereka sekarang peduli pada masyarakat Indonesia dan sadar bahwa negaranya adalah negara Indonesia. Tiongkok adalah negara encek atau negara enciem mereka. Maka saya dengan senang dan hormat mengatakan pada semua teman-temanku :” dirgahayulah Bangsa dan Rakyat Indonesia, dan segala aktivitas kehidupan berbangsa, pembangunan dan pendidikan berjalan lancar dan lebih maju lagi dari pada sebelumnya.
Solo, 20 Januari 2005