BAGIAN 6
Semarang kami merasa berkewajiban untuk pergi kesana, karena pernikahan keponakanku, anak perempuan dari adik perempuan istriku. Semarang terkenal dengan pecinan, dahulu banyak orang-orang Tionghoa kaya tinggal disini, ternama ialah keluarga Oei Tiong Ham dengan Oei Tiong Ham concernnya. Akar dari Chung Hua Hui adalah di Semarang karena banyak mendaptkan bantuan dari Oei Tiong Ham. Chung Hua Hui adalah perkumpulan Tionghoa peranakan yang mau bekerja sama dengan pemerintahan Hindia-Belanda, tetapi tetap mempertahankan identitas Tionghoanya. Anggota-anggotanya kebanyakan intelektual intelektual lulusan universitas. Banyak diantaranya lulusan dari universitas Belanda, karenanya di Belanda juga ada organisasi Chung Hua Hui, bahkan didirikan lebih dahulu daripada CHH di Hindia Belanda. Sekarang perkumpulan ini sudah tiada lagi. Kongres Chung Hua Hui kebanyakan di organisir di Semarang dan yang datang kira-kira seribu orang, pada waktu itu luar biasa jumblahnya, mengingat kwantitet dan kwalitet hotel dan kendaraan yang belum maju seperti sekarang ini. Adik engkongku Tan Ping Tjiat adalah ketua umum Chung Hua Hui, Malang dan pernah berkata padaku:” bayangkan bagaimana sibuknya mengorganisir kongres yang dikunjungi begitu banyak orang. Jelas mengatur penginapan dan kendaraan sangat sukar.
Kedatangan dan kepulangan mereka membawa banyak kerepotan bagi pimpinan protokol rapat, karena masih terbelakannya fasilitas komunikasi dan penginapan pada waktu itu. Banyak pengunjung yang tinggal dirumah teman dan menunggu beberapa hari sampai mendapatkan karcis kereta api untuk bisa pulang rumah. Tetapi bagi kita adalah suatu keharusan untuk hadir ke kongres CHH itu, sebab semua itu demi kepentingan masyarakat Tionghoa di Indonesia, agar dapat hidup tanpa diskriminasi dan sejajar dengan rakyat Belanda dalam segala bidang yang sedang di perjoangkan CHH melalui volksraad. Untung semua ini mendapatkan dukungan keuangan dari Oei Tiong Ham concern, yang sangat peduli pada perkembangan masyarakat Tionghoa.” Engkong Ping Tjiat masih berkata padaku:” koran Matahari (semarang) yang dipimpin jurnalist Baba kawakan Kwee Hing Tjiat sangat modern pada waktu itu dan mempunyai fasilitas yang sangat maju karena dukungan dari Oei Tiong Ham concern.” Memang koran Matahari pada waktu pembukaan mengadakan pesta dikota-kota besar seperti Batavia, Surabaya dan tentunya juga di Semarang. Dalam perjamuan pembukaan di Soerabaja pada tanggal 1 juli 1934 dihadiri oleh pemimpin-pemimpin Indonesia yang ternama seperti Dr. Soetomo, Mr. Iskaq, Mr. Soebardjo, Dr. Samsi, Raden Pandji Soenarto Gondhokoesoemo (directur Bank Nasional Indonesia etc.
Perkawinan keponakanku sangat ramai sekali, undangannya kira-kira seribu orang ada dua keluarga yang datang dari luar negeri, satu keluarga datang dari USA dari fihak sana dan dari fihak keluarga kami ialah dari PR-China dan dari Nederland. Makanan yang dihidangkan pada setiap meja kurasakan ledzat dan musiknya sangat enak didengar. Disamping itu ada dagelan yang di lakukan oleh seorang banci, yang dengan bebas mengatakan bahwa beliau adalah seorang banci (homo). Sangat lucu dagelannya dan disambut dengan tepuk tangan dan ketawa yang meriah oleh para pengunjung pesta perkawinan ini.
Ada satu act yang perlu kami tulis disini ialah atas permintaan tamu dari USA agar beliau menyanyikan lagu burung Cicak Rowo yang ternyata pornografis itu. Tamu dari USA itu diminta naik panggung dan keduanya bernyanyi dengang gerakan dan nyanyian di lagukan sangat sensual dan porno. Bisa ditanyakan apakah etis lagu demikian itu di nyanyikan dengan gerakannya di sautu perayaan umum diamana banyak anak-anak kecil yang juga ada disitu? Ternyata lagu itu sudah ternama dan digemari oleh chalayak ramai Indonesia! Tentu pertanyaan ini sebetulnya harus ditujuhkan kepada tamu dari USA itu, karena dialah yang minta lagu ini tanpa memikirkan adanya anak-anak yang masih kecil kecil. Aku bukan seorang musicus, tetapi aku mempunyai penilaian sendiri mengenai lagu. Maaf apabila salah pandanganku ini betul atau tidak, terserah bagi selerah orang tentang musik. Menurut aku sebuah lagu kupandang bagus apabila melodinya enak didengar dan isinya baik. Lagu-lagu gesang sangat aku senangi karena dua parameter ini.
Di Semarang kami ketemu dengan saudara-saudara istriku yang berdatangan dari Jakarta, Bandung dan Solo, dan Wuhan PRC-China, adik lelaki istriku. Mereka semua tinggal dirumah adik perempuan istriku, kami berkongkow sambil minum teh dan bercerita pengalaman masing masing. Kongkow ini diteruskan sampai kami pergi ke pesta perkawinan. Dirumah makan siang disediakan chusus makanan Indonesia kesukaan istriku ialah sup asaman dari igo sapi, nasi rawon dan gorengan ayam dan empal. Di supnya tampak banyak sekali cabe rawit merah dan hijau mengambang, jelas menunjukkan kepedasannya.
Pesta pernikahan ini memang adalah suatu kesempatan istimewa untuk bisa berkumpul dengan keluarga yang dahulu sewaktu kecil mereka berkumpul dalam satu rumah dan sangat close sebagai saudara-saudara. Kapan kita dapat berkumpul seperti ini? Sayang yang datang bermalam ialah generasi dari istriku saja, meskipun ada beberapa dari generasi kemudian yang datang ke pesta, tetapi mereka tidak bermalam di satu rumah. Kami tak dapat duduk bersama mereka karena kedatangan mereka tak bersamaan dengan aku, dan kami diberi tempat VIP, bersama-sama dengan besannya adik perempuan istriku. Esoknya sore, aku dan istriku kembali ke Solo, rumah ibu mertuaku.
Jakarta, 9 januari 2005